Aliey Faizal

'Isy Kariiman Aw Muth Syahiidan

Archive for the ‘Ahlus Sunnah Wal Jama’ah’ Category

Pengakuan Haidar Bagir (Tokoh Syi’ah Indonesia) Tentang Sesatnya Syiah

Posted by Aliey Faizal pada 10 Juni 2012

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.

Sepandai-pandai tupai melompat, pasti kan terjatuh juga. Pepatah ini adalah hal pertama yang melintas dalam pikiran  saya ketika membaca tulisan bapak Haidar Bagir di harian Republika (20/1/2012) dengan judul: Syiah dan Kerukunan Umat.

Bapak Haidar Bagir dengan segala daya dan upayanya berusaha menutupi beberapa ideologi Syiah yang menyeleweng dari kebenaran. Walau demikian, tetap saja ia tidak dapat melakukannya. Bahkan bila Anda mencermati dengan seksama, niscaya Anda dapatkan tulisannya mengandung pengakuan nyata akan kesesatan sekte Syiah Imamiyyah.

Berikut saya ketengahkan ke hadapan Anda tiga pengakuan terselubung bapak Haidar Bagir.

Pengakuan Pertama:

Data Syiah Imamiyah tentang ideologi adanya Alquran versi Syiah begitu melimpah dalam berbagai referensi Syiah. Wajar bila Bapak Haidar Bagir tidak menemukan cara untuk mengingkarinya. Fenomena ini mengharuskannya menempuh cara selain menutupinya. Dan ternyata Bapak Haidar Bagir lebih memilih cara mengesankan bahwa data tersebut adalah pendapat pribadi sebagian tokoh Syiah Imamiyah. Baca entri selengkapnya »

Posted in Ahlus Sunnah Wal Jama'ah | Dengan kaitkata: | Leave a Comment »

Sirah As-Salaf min Bani ‘Alawy Al-Husainiyin

Posted by Aliey Faizal pada 8 Juni 2012

Naqobatul Asyrof Al-Kubro
Lembaga Pemeliharaan, Penelitian Sejarah dan Silsilah “ALAWIYIN”

SEKILAS SEJARAH SALAF AL-ALAWIYIN Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri

Diterjemahkan dari buku,

Sirah As-Salaf min Bani ‘Alawy Al-Husainiyin,
oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri,
terbitan ‘Alam AI-Ma’rifah, Cetakan I, 1405 H,
Jeddah, Saudi Arabia

PENGANTAR PENERJEMAH

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang

Sedikit sekali di antara putra-putra Alawiyin yang mengenal sejarah perjalanan hidup pendahulu­-pendahulu mereka yang biasa disebut dengan “Assalaf Asshaleh”.

Sesungguhnya, perjalanan dan riwayat hidup salaf penuh dengan pelajaran tuntunan dan ke­teladanan yang patut menjadi pelita, untuk mene­rangi perjalanan hidup generasi demi generasi hingga generasi kita sekarang, karena surnbernya adalah kitab Allah (Alqur’an) dan petunjuk-pe­tunjuk yang termaktub di dalam Sunnah Nabi Muhammad saw.

Petunjuk, tuntunan, dan keteladanan itu terasa sangat penting sekali untuk dikaji dan dipelajari, terutama sekali pada saat-saat seperti sekarang ini, di mana dunia sedang dilanda berbagai ajaran, faham dan ideologi yang akan membawa manusia ke arah jalan yang sesat dan sangat berbahaya.

Namun, untuk melakukan pembahasan dan penyelidikan, menimba dari sumber-sumber rujuk­an berupa kitab-kitab besar, serta biografi yang kadang berjilid-jilid, baik hasil karya ulama Alawi­yin sendiri maupun ulama-ulama lain, baik dahulu maupun yang datang kemudian, adalah cukup berat dan sulit, apalagi menyusunnya secara ringkas, padat, berisi dan meliputi segala segi.

Oleh karena itu, ketika membaca buku kecil berisikan ceramah yang disampaikan oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri, kami merasa ter­panggil untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, dengan harapan semoga akan ber­manfaat bagi mereka yang. kurang atau belum mengenal sejarah perjalanan hidup para salaf – pendahulu-pendahulu kita – seperti din kami atau yang setingkat dengan kami. Baca entri selengkapnya »

Posted in Ahlus Sunnah Wal Jama'ah | Dengan kaitkata: | Leave a Comment »

Puasa Bulan Rajab

Posted by Aliey Faizal pada 8 Juni 2012

Rajab adalah bulan ke tujuh dari penggalan Islam qomariyah (hijriyah). Peristiwa Isra Mi’raj  Nabi Muhammad  shalallah ‘alaih wasallam  untuk menerima perintah salat lima waktu terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat  bulan haram, ketiganya secara berurutan  adalah: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri,  Rajab.

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan  ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Hukum Puasa Rajab

Hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan mengenai keutamaan puasa di bulan Rajab. 

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda “Puasalah pada bulan-bulan haram.” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa’i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): “Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya’ban. Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'” Baca entri selengkapnya »

Posted in Ahlus Sunnah Wal Jama'ah | Dengan kaitkata: | Leave a Comment »

Cara Meng-qadha atau Mengganti Puasa

Posted by Aliey Faizal pada 8 Juni 2012

Qadha‘” adalah bentuk masdar dari kata dasar “qadhaa”, yang artinya; memenuhi atau melaksanakan. Adapun menurut istilah dalam Ilmu Fiqh, qadha dimaksudkan sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam. Misalnya, qadha puasa Ramadhan yang berarti puasa Ramadhan itu dilaksanakan sesudah bulan Ramadhan.Namun demikian, menurut para ahli bahasa Arab, penggunaan istilah qadha untuk pengertian seperti tersebut di atas (istilah dalam ilmu fiqh) sama sekali tidak tepat. Lantaran pada dasarnya kata qadha, semakna dengan kata “ada’” yang artinya; pelaksanaan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam.Oleh sebab itu, tidaklah tepat kata qadha’ dimaksudkan untuk istilah yang artinya bertolak belakang dengan ada’. Akan tetapi, nyatanya istilah qadha’ tersebut telah membudaya, menjadi baku dan berlaku dalam ilmu fiqh, untuk membedakannya dengan kata ada’ yang merupakan pelaksanaan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan.Wajibkah Qadha’ Puasa Dilaksanakan Secara Berurutan?

Qadha’ puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah ayat 184. Dan tidak ada ketentuan lain mengenai tata cara qadha’ selain dalam ayat tersebut.

Adapun mengenai wajib tidaknya atau qadha ‘ puasa dilakukan secara berurutan, ada dua pendapat. Pendapat pertama, menyatakan bahwa jika hari puasa yang di­tinggalkannya berurutan, maka qadha’ harus dilaksanakan secara berurutan pula, lantaran qadha’ merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan qadha’ puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, lantaran tidak ada satu­pun dalil yang menyatakan qadha ‘ puasa harus berurutan. Sementara Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha’ puasa, wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan. Selain itu, pendapat ini didukung oleh pernyataan dari sebuah hadits yang sharih jelas dan tegas). Baca entri selengkapnya »

Posted in Ahlus Sunnah Wal Jama'ah | Dengan kaitkata: | Leave a Comment »

Fidyah (Tebusan) Bagi yang Tak Dapat Berpuasa

Posted by Aliey Faizal pada 8 Juni 2012

Dalam bahasa Arab kata “fidyah” adalah bentuk masdar dari kata dasar “fadaa”, yang artinya mengganti atau menebus. Adapun secara terminologis (istilah) fidyah adalah sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang telah ditinggalkan.

Misalnya, fidyah yang diberikan akibat ditinggalkannya puasa Ramadhan oleh orang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakannya, atau oleh keluarga orang yang belum sempat meng-qadha atau mengganti puasa yang ditinggalkannya (menurut sebagian ulama). Dengan memberikan fidyah tersebut, gugurlah suatu kewajiban yang telah ditinggalkannya.

Bagi wanita yang tidak bepuasa karena hamil atau menyusui maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap dirinya sendiri atau pada diri dan bayinya maka ia hanya wajib mengganti puasanya setelah bulan Ramadhan dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap anak atau bayinya saja maka ia wajib meng-qadha dan membayar fidyah sekaligus.

Berapakah Besarnya Fidyah? Untuk dapat mengetahui berapa besar fidyah bagi tiap orang miskin yang harus diberi makan tersebut, dapat dilihat pada beberapa nash hadits yang digunakan sebagai rujukan:

Dalam hadits riwayat Daruquthniy dari Ali bin Abi Thalib dan dari Ayyub bin Suwaid, menyatakan perintah Rasulullah SAW kepada seorang lelaki yang melakukan jima’ atau berhubungan badan dengan istrinya di suatu siang di bulan Ramadhan untuk melaksanakan kaffarat atau denda berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dalam hadits menyebutkan bahwa karena laki-laki tersebut tidak mampu melakukan itu maka ia harus membayar denda 1 araq (sekeranjang) berisi 15 sha’ kurma. 1 Sha’  terdiri dari 4 mud, sehingga kurma yang diterima oleh lelaki itu sebanyak 60 mud, untuk diberikan kepada 60 orang miskin (untuk menggantu puasa dua bulan). Sedangkan 1 mud sama dengan 0,6 Kg atau 3/4 Liter. Baca entri selengkapnya »

Posted in Ahlus Sunnah Wal Jama'ah | Dengan kaitkata: | Leave a Comment »